Aksi Bhakti Sosial ke GPSI Sibolga

Aksi Bhakti sosial ini dilakukan ke Gereja Pentaskosta Sion Indonesia (GPSI) yang berada di kota Sibolga. Aksi ini berupa pemberian bantuan kursi dan mic wireless.

Pemberian Bantuan ke GPSI Sibolga

Pemberian bantuan berupa mic wireless dan kursi ke Gereja Pentakosta Sion Indonesia (GPSI) Sibolga.

Aksi sosial di rumah Tati Purba

Aksi ini dilakukan di rumah anggota GMKI Tati Purba. Aksi ini untuk membantu memperbaiki rumah anggota yang rusak kena musibah badai.

Serah Terima SK Kepanitiaan MAPER GMKI

Serah terima SK Kepanitian MAPER GMKI yang diserahkan Ketua Cabang : Arwan Hutagalung dan Sekretaris Cabang : Harry Sinaga kepada Ketua Panitia Terpilih : Yunias Dao dan Sekretaris Panitia Terpilih : Anto Silaban.

Foto bareng setelah PA GMKI

Foto bareng pembicara setelah PA GMKI yang dilaksanakan di rumah Ketua Cabang.

Sabtu, 26 November 2011

Pekan Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) XI Sumut Tahun 2011


Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa.

Dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional, maka perlu adanya pembinaan mental dan spiritual bagi mahasiswa sebagai upaya untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu wadah untuk mengimplementasikan harapan tersebut, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memprogramkan kegiatan yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali, yaitu Pekan Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi).

Tujuan dan hasil yang diharapkan dari kegiatan Pesparawi adalah untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa  di kalangan mahasiswa untuk menjaga kerukunan umat  beragama. Tujuan lain adalah untuk mempererat persahabatan dan rasa persaudaraan sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kota Sibolga dinobatkan menjadi tuan rumah pagelaran Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) XI Sumut Tahun 2011. Dijadwalkan, Pesparawi yang diikuti oleh 17 kontingen dari kabupaten/kota se-Sumut tersebut akan dibuka oleh Plt Gubsu Gatot P Nugroho ST, Tanggal 27 Nopember 2011 di Lapangan Simaremare Sibolga.

Total pesertanya ada sekitar 956 orang dari 17 kontingen kabupaten/kota se-Sumut. Pertandingan dilaksanakan serentak di 3 lokasi, yakni di HKBP Sibolga Julu gedung baru dan gedung lama, dan di Gedung Nasional Sibolga. Pesparawi berlangusng hingga Tanggal 29 Nopember 2011.

Pesparawi sendiri akan mempertandingkan beberapa lomba seperti vokal solo anak, vocal solo remaja putra/putri, vokal grup pemuda dan paduan suara. Pesparawi ini memperebutkan piala bergilir Gubsu, serta tropi juara, piagam penghargaan dan uang pembinaan.

Dalam memeriahkan Pesparawi tersebut, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sibolga Tapanuli Tengah mendukung dan ikut serta dalam pelaksanaan Pekan Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) XI Sumut Tahun 2011.
Selamat Bertanding... Bagi kontingen dari Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Kemuliaan Bagi Tuhan, di tempat yang maha tinggi.

Ut Omnes Unum Sint...

Jumat, 25 November 2011

MARS


Mahasiswa kristen semua
Ikutlah GMKI
Gerakan kita Tuhan yang serta
PadaNya kita berbakti
Agar bawa terang cintaNya
Dalam dunia mahasiswa
Biar mereka trima padaNya
Dan hidup berbahagia


Reff :
Hai dengarlah suaraNya
Memanggil kamu
Ikutlah menangkan jiwa
Bagi Juru slamatmu
Kristuslah yang pimpin
Agar semua satu adanya
Ut Omnes Unum Sint
Itulah amsal kita
(back to Reff)

Tri Panji, Panca Kegiatan dan Tiga Medan Pelayanan


Tri Panji :
  • Tinggi Iman
  • Tinggi Ilmu
  • Tinggi Pengabdian
Panca Kegiatan :
  • Berdoa
  • Belajar
  • Bersaksi
  • Bersosial
  • Berkreasi

Tiga Medan Pelayanan :
  • Medan Layan Gereja
  • Medan Layan Perguruan tinggi
  • Medan Layan Masyarakat

Visi dan Misi

Visi :
Terwujudnya kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan dan demokrasi di Indonesia berdasarkan kasih.

Misi :
  1. Mengajak mahasiswa dan warga perguruan tinggi lainnya kepada pengenalan akan Yesus Kristus selaku Tuhan dan Penebus dan memperdalam iman dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari..
  2. Membina kesadaran selaku warga gereja yang esa di tengah-tengah mahasiswa dan perguruan tinggi dalam kesaksian memperbaharui masyarakat, manusia dan gereja.
  3. Mempersiapkan pemimpin dan penggerak yang ahli dan bertanggungjawab dengan menjalankan panggilan di tengah-tengah masyarakat, negara, gereja, perguruan tinggi dan mahasiswa, dan menjadi sarana bagi terwujudnya kesejahteraan, perdamaian, keadilan, kebenaran dan cinta kasih ditengah-tengah manusia dan alam semesta.

Sejarah GMKI


I. PENDAHULUAN
Sejarah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) adalah rentetan peristiwa yang dialami oleh GMKI. Sejarah itu menggambarkan suka-duka perjalanan GMKI dalam mewujudkan tugas dan panggilannya. Sejarah perlu dipelajari karena 3 (tiga) alasan: pertama, melalui sejarah kita menemukan motivasi dasar dan cita-cita yang mengilhami para pendahulu untuk membntuk GMKI; kedua, melalui sejarah juga kita memperoleh nilai-nilai kejuangan para pendahulu; dan ketiga, dengan mempelajari sejarah, akan terpola pemahaman yang benar tentang GMKI dan perjuangannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan bergereja.


Salah satu nilai penting lain yang dapat kita petik dari sejarah GMKI adalah karakter dwi-watak GMKI yang sangat khas karena berupaya untuk memilih secara kreatif dan dinamis antara oikumenisme dan nasionalisme. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ber-GMKI, dari waktu ke waktu. Keduanya, seolah dihubungkan oleh 'seutas benang biru' yang walaupun sangat halus (kadang-kadang tidak kelihatan), namun amat kokoh. Hal tersebut terlihat jelas pada sejarah GMKI, dimana selain berdoa dan berdiskusi tentang Firman Tuhan (PA), juga tidak lupa para mahasiswa secara bahu membahu membantu perjuangan fisik bangsa. Sebagai contoh, sebagaimana hasil dialog antara Alex F. Litaay dengan Mr. Tine A. L. Franz, seorang Ibu yang banyak memberi andil dalam sejarah CSV op Java, PMKI, dan GMKI. Beliau menggambarkan bahwa setiap minggu ketiga Februari, satu per satu anggota PMKI menuju ke Jln. Pegangsaan Timur No. 27 (sekarang STT Jakarta) untuk bersekutu dan berdoa secara bersama-sama dalam acara Hari Doa Mahasiswa Se-Dunia atau HDMS (The Universal Day of Prayer for Students). Walau demikian, mereka tetap menggunakan lencana merah putih di dada, sebagai simbol kebanggaan dan wujud komitmen terhadap perjuangan bangsa, agar tetap berjuang di fron-fron pertempuran ketika berlangsung revolusi fisik.


Mempelajari sejarah bukan sekedar bernostalgia terhadap peristiwa masa lalu, tetapi dalam rangka menangkap visi dan misinya. Dengan belajar dari sejarah, kita diharapkan dapat melanjutkan perjuangan para pendahulu (founding fathers) secara optimal dan mengetahui ke arah mana seharusnya 'biduk' GMKI diarahkan dan/atau bergerak.

II. PERIODISASI HISTORIS

Periodisasi dalam kehadiran (presensia) GMKI dapat dibagi dalam 3 (tiga) kurun waktu, yakni: 1) Christelijke Vereeniging Studenten op Java/CSV op Java (1932-1942); 2) Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia/PMKI (1945-1950) dan CSV yang baru (1946-1950); dan 3) GMKI (1950-sampai sekarang).

1. CSV op Java (1932-1942)

GMKI berdiri pada tanggal 9 Februari 1950, namun cikal bakal GMKI, yaitu Christelijke Vereeniging Studenten op Java (CSV op Java), telah ada jauh sebelumnya, yaitu sejak 28 Desember 1932 di Kaliurang, Yogyakarta. Berdirinya CSV op Java ini tidak dapat dipisahkan peranan dari Ir. C. L. van Doorn, seorang ahli kehutanan tetapi yang juga mempelajari aspek sosial ekonomi (khusunya pertanian) dan memperoleh gelar doktor di bidang ekonomi dan dominee di bidang teologia.

Aktivis CSV Nederland tersebut tiba di Batavia (Jakarta) pada tahun 1921. Akan tetapi, mengingat informasi dan kondisi mengenai Jawa belum dipahami secara baik, maka beliau dianjurkan untuk mempelajarinya, sebelum bertindak. Untuk maksud tersebut, beliau bekerja selama 3 (tiga) tahun di Kantor Volksrediet Purworejo sehingga pengetahuannya mengenai aspek sosial, ekonomi, dan budaya semakin berkembang. Bahkan, beliau pernah melakukan sebuah riset/penelitian dengan topik: Sketsa tentang Perkembangan Ekonomi di Afdeiling Purworejo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak semula, para pendiri CSV op Java cukup memahami situasi sebenarnya dari masyarakat Indonesia, khususnya di P. Jawa sebagai embrio bagi perkembangan GMKI hingga saat ini.


Tahun 1910-1924, berdirilah Sekolah Dokter (STOVIA) di Batavia. Perguruan tinggi lainnya berdiri di Bandung, Bogor, dan Surabaya. Tahun 1924, terbentuklah Batavia CSV sebagai cabang pertama CSV. Kurun waktu 1925-1927, mahasiswa di Surabaya yang berkumpul dalam Jong Indie dan mulai aktif melakukan PA. Kelompok ini, bersama-sama dengan Batavia CSV, mengadakan Konperensi di Kaliurang pada Desember 1932, yang mengeluarkan Pernyataan Pembentukan CSV op Java sebagai berikut:
“Kami wakil-wakil dari Batavia CSV, Surabaya CSV, dan sekelompok mahasiswa Meefdacte Batavia, yang berkumpul pada Konperensi Pemuda ke7 di Kaliurang (Yogyakarta), bersama-sama dengan beberapa orang mahasiswa kristen Bandung, telah sepakat untuk membentuk suatu CSV gabungan, yaitu Christelijke Vereeniging Studenten op Java. Dengan mendirikan CSV ini, kami bermaksud menyatakan diri dengan CSV-CSV lainnya di seluruh dunia yang tergabung dalam World Student Christian Federation (WSCF), untuk bersama-sama bersaksi tentang Yesus Kristus di kalangan dunia kemahasiswaan. Adalah tujuan jujur kami untuk menjunjung moto WSCF, Ut omnes unum sint, di kalangan organisasi kami demi menyatukan para mahasiswa dari perlbagai suku bangsa di sini. Kami yakin bahwa usaha awal kami ini kecil dan lemah, namun kami bertekad melaksanakan pekerjaan ini dengan keyakinan yang sama teguhnya bahwa Tuhan akan menguatkan kami.

Peristiwa penting lainnya yang berkaitan dengan lahirnya CSV op Java adalah dengan kehadiran Dr. John R. Mott (alm) pada tahun 1926 di Jakarta. Beliau merupakan tokoh pendiri WSCF (federasi mahasiswa kristen se-dunia), yang didirikan pada Agustus 1885, melalui satu pertemuan antara mahasiswa kristen Eropa dan Amerika di istana kuno Vedstena, di tepi danau Wettern, Swedia. WSCF merupakan embrio bagi gerakan oikumene ke seluruh dunia. Kedatangan beliau di Indonesia juga merupakan tonggak sejarah amat penting bagi GMKI di Indonesia. Walau masih dalam usia muda, CSV op Java menjadi tuan rumah pelaksanaan Konperensi GMK-GMK se-Asia pada tahun 1933 di Citeureup. Konperensi ini sendiri dinamakan Konperensi Citeureup dan pada Konpoerensi inilah CSV op Java diterima sebagai Corresponding Member oleh WSCF. Keanggotaan WSCF sendiri terdiri dari:
1) Pioneering Movement (gerakan-gerakan yang baru dimulai); 2) Corresponding Movement (gerakan-gerakan yang sudah stabil dan organisasinya rapi terstruktur tetapi belum memenuhi syarat untuk menjadi anggota resmi Federasi; dan 3) Affiliated Movement/Full Member (gerakan-gerakan yang sudah memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan Federasi).

Jumlah anggota CSV op Java dalam kurun waktu 1930-an sekitar 90-an orang dan cabang-cabangnyapun hanya baru ada di kota-kota perguruan tinggi di Jawa (Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya). Sekalipun kecil dan lemah, CSV op Java berhasil meletakkan dasar bagi pembinaan mahasiswa kristen yang kemudian dilanjutkan oleh GMKI (PMKI dan CSV yang baru).

Masuknya Jepang ke Indonesia (1942), mengakhiri eksistensi CSV op Java secara struktural dan organisatoris karena Pemerintah Pendudukan Jepang melarang sama sekali kegiatan-kegiatan organisasi yang dibentuk pada zaman Hindia Belanda. Secara praktis, CSV op Java tidak lagi ada sejak tahun 1942. Akan tetapi, dua aspek penting yang menjadi dasar bagi perkembangan kehidupan organisasi mahasiswa kristen selanjutnya, yang biasa disebut 'benang biru' sejarah adalah: 1) mulai ada kerjasam dengan GMK-GMK se-Asia; dan 2) makin meningkatnya semangat persatuan nasional.

Sepanjang sejarahnya, CSV op Java dipimpin oleh Ketua Umum Dr. J. Leimena (1932-1936) dan (1939-1942) dan Mr. Khow (1936-1939) dengan Sekretaris (full time) dijalankan oleh Ir. C. L. van Doorn (1932-1936) dan Sutjipto (1936-1942).

2. PMKI dan CSV yang baru (Masa Revolusi Kemerdekaan RI/1945)

Sejumlah mahasiswa kedokteran dan hukum di Jakarta memutuskan untuk membentuk suatu organisasi mahasiswa kristen untuk menggantiakn CSV op Java yang sudak tidak ada lagi/dibubarkan. Dalam suatu pertemuan di STT Jakarta pada tahun 1945, dibentuklah PMKI sebagai Pengurus Pusat sehingga Dr. J. Leimena tetap dipilih sebagai Ketua Umum dan dr. O. E. Engelen sebagai Sekretaris Jenderal. Akan tetapi, karena Leimena sibuk dengan tugas sebagai Menteri Muda Kesehatan, maka tugasnya diserahkan kepada dr, Engelen. Setelah itu, PMKI cabang Bandung, Bogor, Surabaya, dan Yogyakarta (ketika UGM berdiri) segera menyusul.


Kegiatan-kegiatan PMKI sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan CSV op Java dimana penelaahan Alkitab merupakan salah satu intinya. Keanggotaan PMKI sebagian besar adalah mahasiswa yang memihak kepada perjuangan kemerdekaan. Hal ini merupakan warisan dari CSV op Java. Tidak lama setelah PMKI lahir, maka di awal tahun 1946, muncul suatu organisasi baru yang menggunakan nama CSV dengan cabang-cabang di Bogor, Bandung, dan Surabaya. CSV yang baru ini sebenarnya bukan merupakan tandingan PMKI, hanya saja, CSV ini lebih berorientasi kepada Pemerintah Pendudukan Belanda.

3. GMKI Melanjutkan Misi dan Eksistensi

a. Masa Perkembangan (1950-1960)

Dengan berakhirnya pertikaian bersenjata antara Indonesia dan Belanda di akhir tahun 1949, maka berakhir pula pertentangan antara PMKI dan CSV yang baru. Pada tanggal 9 Februari 1950, dalam sebuah pertemuan di rumah Dr. J. Leimena (Jln. Teuku Umar 36, Jakarta), lahir kesepakatan untuk meleburkan PMKI dan CSV yang baru dalam suatu organisasi yang dinamakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, yang disingkat GMKI. Disepakati pula bahwa untuk sementara waktu, Dr. J. Leimena diangkat sebagai Ketua Umum sampai diadakannya suatu kongres. Lalu, diselenggarakanlah Kongres I di Sukabumi pada Desember 1950, yang berhasil memilih: 1) Ketua Umum: dr. J. E. Siregar; 2) Penulis Umum: Nn. Mr. Tine A. L. Frans; dan 3) Bendahara: W. Makaliwy.

Pada Masa Perkembangan (beberapa dokumen menyebutkan Masa Pertumbuhan) ini telah berlangsung beberapa Kongres. Kongres I ini, dibahas tentang program Umum GMKI, yakni bagaimana pelayanan yang efektif terhadap anggota sebagai unit terkecil dari organisasi, terutama dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan PA agar mereka dimampukan untuk menjadi Saksi Kristus dalam dunia mahasiswa Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa pada tahun ini, tepatnya tanggal 22 Mei 1950, terbentuklah Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang dipelopori oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya dibina oleh GMKI, ketika masih bernama CSV atau PMKI, seperti dr. J. Leimena, E. Tunggul Sihombing, Dr. Abineno, Dr. Marantika, dan lain-lain. Penyatuan gereja-gereja memang merupakan suatu cita-cita konstan GMKI.

Pada Periode Awal ini, GMKI baru memiliki 5 (lima) cabang dengan anggota berjumlah 481 orang, dengan rincian masing-masing sebagai berikut: Jakarta (181 orang), Bandung (187 orang), Yogyakarta (40 orang), Surabaya (64 orang), dan Makassar (9 orang). Kelima cabang ini kemudian melaksanakan Kongres II pada Oktober 1952 juga di Sukabumi. Kongres ini sangat bermakna penting dan stratejis karena: 1) berhasil disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART); dan 2) mulai ditetapkan tema-tema untuk setiap kongres. Kongres II berhasil menyusun Pengurus untuk masa kerja 2 (dua) tahun (1952-1953) sebagai berikut: 1) Ketua Umum: dr. J. E. Siregar; 2) Penulis Umum: Nn. Mr. Tine A. L. Frans; dan 3) Bendahara: Dr. S. C. Nainggolan.

Pada tahun 1951, diadakan Kursus Kader Internasional yang pertama kali di Jogjakarta, dengan negara peserta: Birma, Muangthai, Philipina, India, Srilangka, Jepang, Amerika, Australia, Indonesia, dan dari WSCF sendiri. Wakil Indonesia antara lain: dr. J. E. Siregar, Nn. Tine A. L. Franz, Chr. A. Kitting, L. Radja Haba, dan Nn. D. A. Tamaela. Hasil konkrit dari kursus ini adalah dengan bekerjanya C. I. Itty, MA, sebagai Sekretaris keliling, yang mengunjungi cabang-cabang GMKI di tanah air.

Kongres II juga berlangsung di Sukabumi pada tahun 1952. Masalah utama yang dugumuli adalah program pelayanan anggota, juga merupakan lampu kuning bagi setiap anggota GMKI agar tidak tenggelam dalam multiaktivitas tanpa dibarengi dengan kehidupan rohani yang matang. Iman tanpa ilmu pengetahun adalah buta dan ilmu pengetahu tanpa iman adalah lumpuh, demikian antara lain yang disampaikan oleh J. Leimena, bahkan berulang-ulang kali diucapkan sebagai warning. Dalam Kongres ini juga ditetapkan antara lain: GMKI berdasarkan Kitab Kudus yang menyaksikan Yesus Kristus adalah Allah dan Juruselamat, dan ditetapkan bahwa tanggal 9 Februari 1950 sebagai hari berdirinya GMKI.

Kongres III berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1953. Pada tahun yang sama, berdirilah cabang GMKI Bogor dan Medan sehingga jumlah seluruh anggota meningkat menjadi 1099 orang (untuk ketujuh cabang). Pada tahun yang sama, GMKI melalui General Assembly WSCF di Nasrapur, India, resmi menjadi Affiliated Movement/Full Member WSCF.

Selanjutnya, Kongres IV berlangsung di Surabaya Tahun 1954, Kongres V di Bandung Tahun 1955, dan Kongres VII di Kalimantan Tahun 1959, dimana keputusan yang diambil masih bersifat umum, yakni menyangkut pergumulan GMKI di medan layannya..

Kongres VI berlangsung di Sukabumi pada tahun 1956, yang menggumuli tentang:
1) Esistensi GMKI dan identitasnya agar tetap independen dan tidak tergoda untuk bernaung di bawah salah satu kekuatan partai politik. Masalah ini juga berkembang sampai tahun 1960-an, dimana banyak orang memvonis bahwa GMKI merupakan onderbouw Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Hal ini jelas keliru! Memang keduanya mempunyai dasar yang sama, yaitu Alkitab, tetapi, GMKI bukanlah organisasi politik! Kehadiran anggota-anggota atau bekas anggota GMKI dalam Parkindo, bukanlah kebijaksanaan resmi atau restu ataupun rekomendasi GMKI. Hal ini juga berlaku sampai sekarang.
2) Kongres VI ini juga melakukan perubahan AD/ART GMKI, dimana Pengurus Umum dipilih untuk masa bakti 2 (dua) tahun.

Hingga tahun 1960, boleh dibilang bahwa GMKI memang mengalami masa perkembangan, baik dalam hal penataan organisasi maupun dalam siklus dan kalender konstitusi organisasi. Sebagai contoh, pada IV di Prigen, Surabaya, telah dilaksanakan Konperensi Studi mengawali Kongres.

b. Masa Konsolidasi (1960-1970)

Konperensi Studi dan Kongres Nasional (KKN) VIII pada Juli 1961 berlangsung di Surabaya, yang merupakan Kongres pertama pada dekade 1960-an, yang dikenal sebagai Masa Konsolidasi. (cf: dekade 1950-an disebut Masa Pertumbuhan). Di sekitar periode ini dapat dicatat bahwa atas inisiatif GMKI, telah disepakati agar dua organisasi pemuda kristen yang selalu berseteru, yakni PPKI (Persatuan Pemuda Kristen Indonesia) dan MPKO (Majelis Pemuda Kristen Oikumene) untuk meleburkan menjadi satu organisasi. Cita-ciat ini akhirnya tercapai pada tanggal 23 April 1962, dimana GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) berdiri, sebagai fusi dari kedua organisasi di atas.

Kongres VIII telah membawa GMKI memasuki kehidupan baru dimana aspek konsolidasi organisasi mulai hangat didiskusikan. Kongres ini juga berhasil mengubah struktur secara besar-besaran dan mulailah berlaku AD/ART yang baru. GMKI yang sebelumnya dipimpin secara desentralisasi oleh Pengurus Umum (PU), selanjutnya diatur secara sentralisasi oleh Pengurus Pusat (PP). Sebelumnya, PU lebih banyak merupakan federasi dari organisasi di kota-kota PT. Selain itu, mulailah dilakukan pembagian Daerah Regional Cabang, Perumusan Pola Pelayanan, Garis Panggilan Umum, dan Pembentukan Cabang-cabang yang Baru (tendensi organisasi semakin berkembang).

Kongres IX berlangsung di Pematang Siantar tahun 1963. Kongres X berlangsung di Manado tahun 1965. Pada Kongres ini, GMKI menyatakan dirinya sebagai “anak kandung Gereja dalam Revolusi Indonesia dan sebagai organisasi kader dan bukan ormas (organisasi massa). Hal ini berarti bahwa sikap dan tindakan GMKI diidentikkan dengan Gereja. Sebagai implikasi logisnya, pembinaan anggota diarahkan untuk menjadi kader yang mampu dan berkualitas sehingga dapat menjawab tantangan di atas. Pemahaman visi dan misi Gerakan oleh para kader, mutlak diperlukan.


Kongres XI di Makale, Tana Toraja pada tahun 1967, mencatat hal-hal yang menggembirakan dari aspek perkembangan organisasi, dimana sudah terdapat 72 cabang GMKI di seluruh tanah air, yang dibagi ke dalam 12 daerah pelayanan yang dikoordinasi oleh Koordiantor Daerah (Korda). Pada Kongres ini, GMKI merasa terpanggil untuk meningkatkan peranserta bagi pelayanan dan kesaksian dalam usaha membina kader baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kongres ini bermakna penting sebab merupakan Kongres pertama sejak bangsa dan negara bersama rakyat berhasil menumpas Pemberontakan G-30-S/PKI.

Secara intern organisasi, memang diakui bahwa peristiwa ini menimbulkan polarisasi dalam tubuh GMKI. Sebagai contoh, penyusutan jumlah cabang di tahun 1960-an sebanyak ± 90 cabang, yang hadir di Kongres XII di Kupang-Timor tahun 1970, hanya 32 cabang. Banyak cabang yang nonaktif sejak tahun 1966, terutama karena dilakukannya pembenahan sistem pendidikan tinggi oleh Pemerintah sehingga PT yang belum mapan dan statusnya kurang jelas, ditutup. Selain itu, timbulnya apatisme di kalangan mahasiswa sehingga banyak yang enggan masuk organisasi-organisasi ekstrauniversiter.

Selama Masa Konsolidasi, GMKI mengalami perubahan yang sangat pesat, yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Pengalaman dari kongres ke kongres telah membawa GMKI kepada suatu pernyataan yang dicetuskan pada Kongres XII di Kupang pada tahun 1970, yakni: Here Am I, Send Me. Keputusan Kongres XII menuntut agar GMKI harus menegaskan posisi teologis sebagai gereja yang fungsional di PT.

c. Masa Pengutusan (1970-sekarang)

Masa Pengutusan ini dapat ditelaah dari 2 (dua) aspek penting, yaitu interen organisasi dan eksteren organisasi. Aspek interen organisasi yang perlu dicermati dan disimak, antara lain:
1) Bidang Organisasi; dilakukan pembenahan cabang-cabang termasuk evaluasi terhadap yang tidak lagi berfungsi bahkan ada beberapa cabang yang dibubarkan. Di lain pihak, terbentuk cabang-cabang baru di kota-kota perguruan tinggi yang dianggap stratejis. Hingga memasuki Kongres XXX yang akan diselenggarakan di Kupang, 5-12 November 2006, tercatat sekitar 71 cabang GMKI (jumlah yang hampir sama tatkala memasuki Kongres XII di Kupang pada tahun 1970 atau 36 tahun kemudian), selain beberapa calon dan bakal calon cabang yang sedang diproses oleh Pengurus Pusat Masa Bakti 2004-2006;
2) Bidang Kaderisasi: Kongres XV di Palembang tahun 1976, telah memutuskan sesuatu yang sangat berharga dan penting bagi eksistensi GMKI ke depan, yaitu dipandang perlu membentuk suatu lembaga yang akan menjnjang pengkaderan GMKI. Lembaga tersebut direkomendasikan kepada Pengurus Pusat dengan nama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kader (LPPK) GMKI. Lima tahun kemudian (1981), melalui seminar nasional pendidikan kader di Salatiga, dirumuskanlah Pola Dasar Sistem Pendidikan Kader (PDSPK) GMKI. PDSPK ini berlaku untuk 10 tahun ke depan barulah dievaluasi. Sesudah 10 tahun (1981-1991), oleh Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 1990-1992, meaksanakan Lokakarya Sistem Pendidikan Kader GMKI di Salatiga, 17-22 Maret 1992. Produk ini, kemudian oleh Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 1992-1994 bersama Yayasan Bina Darma (lembaga yang dibentuk oleh Universitas Kristen Satya Wacana dan GMKI) kembali melaksanakan Konsultasi Nasional dan Lokakarya PDSPK pada 14-17 Maret 1994 di Kampus Bina Darma Salatiga, dimana produk Lokakarya tersebut dijadikan sebagai materi dasar Pendidikan Kader GMKI yang selanjutnya dilaporkan pada Kongres XXIV di Pekanbaru. Akhirnya, Kongres ini berhasil mensahkan produk Lokakarya menjadi PDSPK GMKI 1994-2004. Sebab itu, dalam KKN (Konperensi Studi dan Kongres Nasional) GMKI di Jogjakarta tahun 1974, GMKI mulai memikirkan cara-cara baru dalam rangka pendidikan kader. Pada tahun 1975, diadakan Seminar Pendidikan Kader GMKI di Salatiga, kemudian hasilnya dilaporkan dalam KKN 1976, yang selanjutnya menganjurkOn agar dibentuk badan yang permanen untuk menagani kaderisasi. Hasilnya antara lain:
a) Terbentuknya YBD (Yayasan Bina Darma) yang merupakan wujud kerjasama antara GMKI dan UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga, setelah melalui rembukan dan konsultasi yang intens, untuk mewujudkan Keputusan KKN 1976.
b) Selanjutnya, dengan dimotori oleh YBD, dilakukanlah lokakarya untuk mencari bentuk-bentuk yang cocok untuk GMKI. Pada Lokakarya Nasional GMKI Tahun 1981, berhasil dirumuskan Pola Dasar Pendidikan Kader GMKI, yang populer dengan nama Pola Dasar 81 sebagiaman telah dijelaskan sebelumnya.
3) Aspek Konstitusi: satu hal penting yang berhubungan dengan kehidupan konstitusi adalah adanya perubahan AD/ART GMKI pada Kongres XX di Palangkaraya, yang merupakan kelanjutan dari rekomendasi Kongres XIX di Salatiga, terutama yang berhubungan dengan hadirnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan, dimana semua organisasi harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dalam AD/ART. GMKI mematuhi amaat UU ini dengan mengubah bunyi Pasal 2 AD GMKI, yang sebelumnya adalah berdasarkan Alkitab. Ini tidak berarti GMKI telah mengaburkan identitasnya sebagai organisasi yang bersifat gerejawi. Secara taktis, GMKI memindahkan rumusan Pasal 2 AD ke dalam Pembukaan, yang dipandang sebagai sumber inspirasi dan sumber motivasi bagi jiwa dan langgam kerjanya dan sumber rujukan bagi penyusunan batang tubuh AD/ART.
Bagi GMKI, Pancasila bukan 'barang baru', sebab pada Musyawarah Ketua-ketua Cabang (Musketcab) pada era 1950-an, GMKI telah menetapkan Pancasila sebagai temanya. Pancasila juga telah menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi/rujukan bagi aturan organisasi karena termuat secara jelas dalam Penjelasan Pembukaan/Mukaddimah AD GMKI.

Sebuah AD/ART ideal adalah yang mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan-perubahan yang terjadi baik dari sisi internal maupun eksternal. Jika kita memperhatikan AD/ART GMKI, maka sejak tahun 1986 hingga tahun 2004, sekitar 18 tahun, tidak lagi dilakukan perubahan-perubahan. Muncul pertanyaan-pertanyaan sederhana: 1) Apakah itu pertanda bahwa AD/ART GMKI begitu luwes/fleksibel dan kenyal sehingga mampu beradaptasi dengan situasi apapun?; 2) Apakah kita menganggap begitu sakral AD/ART kita sehingga ia tidak boleh disentuh?; 3) Ataukah kita termasuk kategori sivitas organisasi yang tidak peduli pada aturan permainan atau aturan dasar organisasi padahal ia sangat menentukan sepak terjang dan langgam kerja kita?; dan masih apakah-apakah yang lain yang dapat kita rumuskan secara sendiri dan spesifik.

Untuk Eksteren Organisasi, beberapa hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut: 1) GMKI bersama organisasi ekstrauniversiter lainnya (HMI, PMII, PMKRI, dan GMNI) pada tanggal 22 Januari 1972, membentuk Kelompok Cipayung (sesuai keputusan Kongres yang menyambut baik keterlibatan GMKI di Kelompok Cipayung), sebagai forum komunikasi antara organisasi ekstrauniversiter. Pada awalnya, Kelompok ini melaksanakan diskusi yang bertemakan: Indonesia Yang Dicita-citakan. Selama kelompok ini ada, hasil dialog mereka merupakan sumbangan pemikiran yang penting bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; dan 2) pada tanggal 23 Juli 1973, GMKI turut membidani lahirnya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), yang merupakan wadah berhimpun bagi seluruh pemuda Indonesia. Ide dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan Kelompok Cipayung, yaitu adanya keinginan yang luhur untuk turut memberikan kontribusi pemikiran dalam proses pembangunan nasional dan berusaha mengatasi pengkotak-kotakan dalam dunia pemuda.

Kongres XIV berlangsung di Yogyakarta tahun 1974. Kongres mengajak GMKI agar exodus (keluar) dari ghetto-ghetto (lingkaran/tembok) persekutuan yang sempit dan ikut bersama berjuang bagi perdamaian, keadilan, dan kebenaran. Ini berarti, GMKI tidak hanya berkonsolidasi dan berbenah diri, tetapi yang terutama memberikan kesaksian dengan tindakan nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pluralistis ini.

Kongres XV berlangsung di Palembang tahun 1976. Perhatian Kongres ditujukan kepada evaluasi ulang menyangkut relevansi Program GMKI, terutama menyangkut Pendidikan Kader dan proses timbal balik antara pendidikan formal dan nonformal. Kongres XVI berlangsung di Ujungpandang tahun 1978 dan Kongres XVII berlangsung di Jakarta tahun 1980.

Selanjutnya, Kongres XVIII berlangsung di Jakarta pada Tahun 1980, Kongres XIX berlangsung di Salatiga pada Tahun 1984; dan Kongres XX berlangsung di Palangkaraya Tahun 1986; Kongres XXI berlangsung di Bandung pada Tahun 1988; Kongres XXII berlangsung di Jayapura pada Tahun 1990; Kongres XXIII berlangsung di Tomohon pada Tahun 1992; Kongres XXIV berlangsung di Pekanbaru pada Tahun 1994; Kongres XXV berlangsung di Ambon pada Tahun 1996; Kongres XXVI berlangsung di Palu pada Tahun 1998; Kongres XXVII berlangsung di Denpasar pada Tahun 2000; Kongres XXVIII berlangsung di Tondano pada Tahun 2002; dimana keputusan yang diambil masih bersifat umum, yakni menyangkut pergumulan GMKI di medan layannya kecuali Kongres XIX dan XX yang akhirnya berhasil mengubah dari DASAR GMKI, yakni Alkitab menjadi ASAS serta Kongres XXIX berlangsung di Pematang Siantar pada Tahun 2004, yang menambahkan pasal tentang Visi dan Misi (Pasal 2 yang sebelumnya tentang Tujuan), dimana ayat 1 merupakan rumusan baru tentang Visi sedangkan ayat 2 tentang Misi yang merupakan rumusan lama atau saduran dari rumusan Tujuan pada AD/ART sebelumnya.

Kamis, 24 November 2011

Sejarah Kota Sibolga

SIBOLGA, Sebuah pemukiman, berada dikawasan Teluk TAPIAN NAULI, Pantai Barat Sumatera Utara. Alamnya Indah, Teluknya luas, Lautnya Dalam dan Tenang, sehingga strategis menjadi persinggahan para Pelaut untuk berlabuh. Air Jernih untuk kebutuhan Kapal cukup tersedia dari Sungai dan Air Terjun yang banyak terdapat disekitar Teluk.

Pulau-pulau yang terhampar didepannya menjadi penyangga ombak dan gelombang dari Lautan lepas Samudera Hindia.

Kawasan Teluk Tapian Nauli berkembang menjadi daerah transit kesegala jurusan, baik kepedalaman atau ke Pulau-pulau di Nusantara dan ke Daerah Luar Indonesia. Kondisi ini mendorong cepatnya pertumbuhan kehidupan dengan adanya perdagangan antara penduduk Pribumi dengan pendatang dari luar, Eropah dan Asia.

Ramai dan sibuknya perdagangan diteluk ini menimbulkan persaingan yang sering mengakibatkan lahirnya peperangan, terutama oleh orang-orang Eropah yang memaksakan kehendaknya melalui sistem monopoli dalam pembelian rempah-rempah untuk memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.

Kapal-kapal Dagang banyak berlabuh di Teluk Tapian Nauli dan melakukan Jual-beli dengan penduduk negeri serta penduduk dari daerah tetangga.

Percepatan pertumbuhan daerah ini berlangsung dalam kurun waktu yang tidak begitu lama. Selanjutnya Sibolga dan Kawasan Teluk Tapian Nauli segera mendapat status sebagai Ibu Kota Kresidenan Tapanuli mulai dari zaman Kolonial sampai dengan zaman Kemerdekaan. Status yang tertinggi, dan pernah di Sandang Kota ini adalah bahwa Sibolga pernah menjadi Ibu Kota Propinsi Tapanuli dan Sumatera Timur pada tahun 1950 – 1951.

Rangkaian Sejarah panjang terukir di Daerah ini dalam menghadapi Penjajah untuk mempertahankan kepentingan negeri dan NKRI. Bahkan dalam pembentukan Angkatan Laut Republik Indonesia ( ALRI), Sibolga mempunyai peranan penting karena semangat juang yang dimiliki oleh para Warganya.

Hal ini dibuktikan melalui sejarah tentang terjadinya Perang Laut yang dahsyat diperairan Sibolga antara TRI – ALRI dan Lasykar Rakyat bersatu menghadapi Kapal Perang Belanda HMS Bankert yang populer disebut YT-1.

Semangat Persatuan dalam kebersamaan dan kerukunan persaudaraan tetap terjalin, walaupun Masyarakatnya terdiri dari berbagai Suku, Etnis, Bangsa dan Agama yang lazim disebut sebagai “ Negeri berbilang KAUM ”. Keadaan ini tetap terpelihara dan berwujud dalam berbagai aspek kehidupan sampai dengan sekarang ini.

Demikian juga halnya dibidang perekonomian dan Pendidikan. Sibolga pernah mencatat sejarah kesuksesannya yang dilakukan oleh Penduduk Negeri bersama Para Pendatang.

Tidak sia–sia Pendiri Sibolga memilih kawasan ini menjadi tempat pemukiman sekaligus menjadi benteng pertahanan melawan Penjajah serta menjadikan Negeri ini menjadi perekat Kerukunan antar Ummat beragama yang Damai dalam Pergaulan serta Persaudaraan.

Jauh sebelum Sibolga berdiri sudah banyak penduduk yang bermukim disekitar Pantai Barat Sumatera Utara yang lazim disebut daerah pesisir antara lain di Barus, Sorkam, Jago-jago, Singkuang dan Natal, sedangkan dikawasan Teluk Tapian Nauli pemukiman penduduk sudah ada disekitar Pargadungan dan Poriaha.

Masyarakat dari Daerah Batak Toba banyak yang datang ke Daerah Pesisir ini, untuk berdagang secara barter. Mereka membawa hasil pertanian dan hasil hutan, untuk selanjutnya ditukar dengan Garam dan Hasil Laut yang diperoleh mereka dari daerah pesisir. Mereka memikul sendiri barang-barang yang dibawanya, dalam Bahasa Batak disebut “ Marlanja “ sehingga kelompok ini terkenal dengan sebutan “ Parlanja Sira “ ( Tukang pikul Garam ).

Kehidupan ini berlangsung secara rutin dengan rute perjalanan yang ditempuh dari Batak Toba menuju Aek Raisan, sampai ke Rampah masuk ke Poriaha dan ke Pulau Porlak hingga ke Pulau Mursala yang dikenal pada saat itu sebagai tempat memasak Garam.

Sekitar tahun 1514 – 1524 terjadi gejolak antara Aceh dengan Batak dibagian Timur Sumatera Utara. Keadaan ini mengundang orang Batak Toba semakin banyak datang ke Pesisir Barat Sumatera Utara, terutama dari Daerah Silindung Tapanuli Utara, rute perjalanan adalah dari daerah Silindung menuju Aek Raisan terus ke Bonandolok menuju Meladolok hingga ke Mela dan sampai di Pulau Poncan.

Makin lama daerah Teluk Tapian Nauli semakin sibuk dan semakin ramai oleh kegiatan jual-beli rempah dan hasil Hutan dengan pedagang dari Eropah. Arab, India dan Cina demikian juga halnya Kapal-kapal Dagangpun semakin banyak singgah di daerah Teluk Tapian Nauli.

Pada saat itulah OMPU DATU HURINJOM HUTAGALUNG dari daerah Silindung membuka pemukiman baru disekitar Simaninggir Bonan Dolok sekitar 10 KM dari sebelah Utara Kota Sibolga yang ada sekarang ini. Dari tempat ini sesuai dengan sebutan namanya Simaninggir (mudah memantau) terlihat pemandangan yang sangat Indah dan sangat Luas ke daerah Laut dan Pantai sehingga sangat mudah untuk memantau keadaan.

Akhirnya daerah ini menjadi tempat persinggahan Parlanja Sira untuk melepaskan lelah dan kadang kala bermalam ditempat ini. Jika Parlanja Sira hendak singga di Simaninggir mereka tidak pernah menyebut tempat itu dengan sebutan nama pemiliknya karena, tabu bagi orang Batak menyebut nama langsung seseorang yang dituakan atau dihormati, melainkan disebut dengan gelar kebesaran atau kehormatan sehingga menyampaikan dengan Kalimat “ BETA HITA SINGGA TU INGANAN NI SI BALGA I “ ( Ayo kita singga ketempat orang Besar itu ).

Hal ini karena perawakan pisik Ompu Datu Hurimjon Hutagalung berbadan besar dan tinggi dengan Kharisma Spritual. Anak-anaknya juga berperawakan yang sama dengan beliau sehingga salah satu anaknya diberi nama Raja Ompu Timbo.

Karena ulah Kolonial Belanda penduduk pribumi melakukan pemberontakan didaerah pesisir Barat Sumatera Utara, dari tahun 1675 – 1678 maka Ompu Datu Hirinjom bersama anaknya Raja Ompu Timbo memindahkan pemukimannya ke MelaDolok kemudian ke daerah lereng dan bukit Simare-mare sehingga rute perjalanan Parlanja Sira beralih dari Silindung menuju Aek Raisan terus ke Simaninggir ke Mela Dolok terus ke Simare-mare menuju Pulo Rembang hingga ke Pulo Poncan, namun demikian julukan Si Balga tetap menjadi sebutan oleh Parlanja Sira apabila ingin melepaskan lelah walaupun pemukiman Ompu Datu Hurinjom bersama anaknya telah berada disekitar Mela Dolok.

Karena Persaingan dagang di Teluk Tapian Nauli semakin tinggi maka Raja Luka anak Raja Ompu Timbo mulai mengembangkan wilayah pemukiman ke daerah Pantai disekitar Sungai Aek Doras yaitu kawasan Kantor Pos dan Gedung Nasional yang ada pada saat ini. Keberanian Raja Luka menerobos dan mendorong pengembangan pemukiman kearah pantai dalam situasi komplik disekitar Pantai Teluk Tapian Nauli merupakan lambang keberanian dan kegagahan yang luar biasa, sehingga beliau mendapat julukan Tuanku Dorong. Suatu gelar kehormatan bagi pemimpin yang membela negerinya. Gelar tersebut melekat pada Raja Luka sedangkan pengembangan pemukiman dan wilayah ke arah pantai tetap disebut   dengan nama             “ Si Balga “. Atau SI BOLGA

Pembukaan secara resmi tempat ini menjadi pemukiman berlangsung pada tanggal 2 April 1700 dan sebagai mana lazimnya orang Batak membuka pemukiman/Kampung yang baru selalu dilengkapi dengan Raja, Pangulima dan Datu.

Nama Sibolga menjadi populer untuk pemukiman baru ini walaupun pernah berobah-obah menurut dialek orang yang mengucapkannya bila orang Batak mengucapkannya SI BALGA atau SI BOLGA, sedangkan orang Pesisir mengucapkannya SIBOGA sementara orang Belanda dan Inggris mengucapkannya SIBOUGAH, sedangkan orang Jepang mengucapkannya dengan SIBARUGA karena orang Jepang susah menyebutkan huruf L

SIBOLGA DALAM PEMBENAHAN

Pada saat Parlanja Sira dari Batak Toba datang ke wilayah Teluk Tapian Nauli kegiatan perdagangan sudah ada dan berlangsung di Daerah ini berpusat di Pulau Poncan Ketek. Di Pulau inilah tempat berlabuhnya Kapal-kapal Dagang sementara yang menguasai Pulau Poncan silih berganti antara Belanda dan Inggris. Pada Tahun 1755 Inggris mengusir Belanda dari Pulau Poncan Ketek, lalu mendirikan Benteng pertahanan dan Pemerintah Inggris dengan mengangkat seorang Datuk yang bernama DATUK ITAM yang dibawa dari Bengkulu untuk membantu dalam urusan Pasar dan membawahi Pangulu Jambur atau Etnik yang ada di Pulau Poncan. Datuk ini terkenal dengan sebutan Datuk Itam dan dikenal pula dengan sebutan Datuk Pasar, sesuai dengan Jabatannya.

Dalam menata hubungan Raja Sibolga dengan Tetangga John Prince Residen Inggris meminta agar diadakan Perjanjian Bersama antar Raja-raja dengan Residen terutamadalam mengatasi perselisihan, dan penataan Pengembangan Wilayah. Perjanjian ini disebut Perjanjian TIGO BA DUSANAK berlangsung pada tanggal 11 Maret 1815. Perjanjian ini dilakukan antara Raja-raja di Teluk Tapian Nauli dengan Raja-raja di daerah Tetangga. Pada pokoknya isi perjanjian tersebut menyangkut penataan hidup berdampingan antara Raja-Raja di TeLuk. Jika terdapat perselisihan antara Raja dengan Raja, maka Raja yang ketiga menjadi penengah. Kalau terdapat jalan buntu, baru dihadapkan kepada Residen. Perjanjian tersebut adalah menyangkut apabila terjadi perselisihan antara Raja dengan Raja lain, maka Raja yang ke tiga menjadi penengah, dan kalau terdapat jalan buntu baru dihadapkan kepada Residen.

Khusus kepada Raja Sibolga ditugaskan untuk meramaikan Negerinya. Pada dasarnya Perjanjian ini sangat banyak membantu John Prince sebagai Residen terutama dalammengahadapi Penduduk Pribumi tetapi Perjanjian ini juga merupakan langkah awal bagi Raja-raja didaratan melakukan hubungan baik sesama mereka.

Sesuai dengan isi Traktak London 1824 maka pada tanggal 9 Pebruari 1825 Inggris menyerahkan Poncan Ketek kepada Belanda dan selama dalam penguasaan Belandadaerah ini tidak pernah tenteram selalu timbul huruhara di Laut dan di Daratan, karena Penduduk Negeri sering tidak senang dengan perlakuan Belanda.

Untuk membantu perlawanan Penduduk Negeri di Pantai Barat Sumatera Utara Raja Sibolga pernah mendapat bantuan Pasukan dari Anak yang di Pertuan Agung Raja Pagaruyung demikian juga Raja Sibolga pernah mengirimkan anaknya yang bernama Sutan Amir Husin Hutagalung ke Bonjol untuk membantu Panglima Imam Bonjol pada Perang Bonjol melawan Belanda pada tahun 1825 di sana anak Raja Sibolga tersebut mendapat gelar kehormatan dan diangkat sebagai SUTAN SAMAN.

Belanda sangat kewalahan menghadapi berbagai kerusuhan antara lain Perampokan di Laut maupun di Darat yang dilakukan oleh orang yang bernama SI SONGE ( yang menakutkan ) dan puncak malapetaka yang dihadapi Belanda adalah pada tanggal 14 Desember 1829 Marah Sidi melakukan penyergapan Malam ke Poncan Ketek dengan menghancurkan semua pertahanan Belanda di Pulau tersebut.

Akhirnya penduduk berangsur-angsur meninggalkan Poncan Ketek berpindah ke daratan Sibolga dan tahun 1848 Pulau Poncan Ketek di kosongkan dan Pusat Pemeintahan Militer Belanda di Pindahkan ke Sibolga.

Penduduk Sibolga menjadi ramai dengan pendatang baru lahan kering untuk pemukiman sudah habis, untuk mengatasi penyediaan lahan Raja Sibolga menyetujui penimbunan rawa-rawa serta pembuatan parit ke arah Timur dan Selatan Sibolga, lahan baru dimaksud dipersiapkan untuk para pendatang termasuk penduduk yang pindah dari Poncan Ketek.

Hal ini sangat jelas tergambar dari syair yang sangat akrab dikumandangkan dalam Sikambang yang berbunyi :

“ SIBOGA JOLONG BASUSUK BANDA DIGALI URANG RANTAI “

Akhirnya penduduk Sibolga bertambah terus, diramaikan oleh Para Pendatang dari berbagai Suku, Etnik dan Bangsa, maka pada tanggal 1 Maret 1851 dilakukanlah pembinaan Masyarakat oleh Raja Sibolga bersama Conperus Residen Tapanuli yang menyangkut

Tentang penetapan Adat yang berlaku di Sibolga dan menunjuk Raja Sibolga sebagai Pemangku ADAT, dan penetapan tugas masing-masing Datuk untuk urusan Pasar dan Belasting Pangulu untuk urusan Suku dan Etnis sedangkan Kepala Kuria membawahi Kepala Kampung.

Dalam hal ini sebait Pantun yang lazim dan akrab di telinga orang Pesisir Sibolga yang berbunyi :

“ JANGAN TA KAPAK KAPAK, KINI KAPAK PAMBALAH KAYU

JANGAN TA BATAK BATAK, KINI BATAK ALA JADI MALAYU “

Semenjak itu Sibolga menjadi Pusat Pemerintahan dengan Luas Wilayah yang bervariasi sejak terbentuknya sampai sekarang dan menurut catatan Sejarah Sibolga sebagai tempat Pemukiman tetap menerima beban tugas sebagai IBU KOTA PUSAT PEMERINTAHAN. Jenjang Jabatan Pemerintahan yang pernah berkedudukan di Sibolga adalah sebagai berikut :

1. Raja merupakan Penguasa Wilayah dalam Sistim Pemerintahan Tradisional
2. Datuk sebutan kepada orang yang mengurus Pasar, memungut Belasting dan Pajak
3. Pangulu orang yang ditugasi untuk mengurus atau memimpin Suku atau Etnis
4. Kepala Kampung sebutan kepada orang yang mewakili Pemerintahan dibawah Kuria.
5. Kuria sebutan pengganti istilah Raja oleh Belanda yang bertugas membawahi Kepala Kampung.
6. Koeriahoofd sebutan untuk Kepala Kuria
7. Demang sebutan untuk yang membawahi Kuria
8. Kontroler sebutan untuk orang yang mengatur Onderafdeeling ( Kecamatan )
9. Asisten Residen orang yang bertugas sebagai Wakil Residen dalam mengurus Wilayah setingkat Affdeeling/Kabupaten
10. Residen sebutan untuk Kepala Pemerintahan tingkat Residen ( Propinsi )
11. BUNSYU orang yang ditugasi memimpin Affdeeling pada Zaman Jepang
12. SITYOTYO orang yang ditugasi memimpin Pemerintahan Kota
13. BUPATI orang diserahi untuk memimpin Pemerintahan Kabupaten bermula Kabupaten Sibolga, beralih menjadi Kabupaten Tapanuli Tengah
14. Walikota orang yang diserahi untuk memimpin Kotapraja kemudian beralih menjadi Kota Madya dan selanjutnya sekarang disebut KOTA.
15. GUBERNUR orang yang diserahi untuk memimpin Provinsi Tapanuli dan Sumatera Timur.
16. PEMBANTU GUBERNUR orang diserahi untuk memimpin sebagai Pembantu Gubernur Sumatera Utara untuk Wilayah Pembangunan I Sumatera Utara

“ PONCAN KETEK PONCAN GADANG

DIANTARONYO SI PULO BANGKE

SIBOGA NAN KETEK KITO PAGADANG

SUPAYO HIDUP INDAK MARASE “